HarianMakassar.com – Belakangan ini, seantero bumi pertiwi kembali dihebohkan dengan sebuah permainan pendulum dengan dua bola pemberat serupa yang terikat tali dengan cincin di atasnya. Ada yang menyebutnya latto’-latto’, katto’-katto’, nok-nok, tek-tek, dan sebagainya. Permainan ini sebenarnya bukan barang baru, enam puluh dua tahun yang lalu sudah ada di Amerika dan Eropa. Di belahan dunia lain menyebutnya Clackers, Click Clacks, Knockers, Bonkers, dan Ker-Bangers. Di Indonesia sendiri sempat tren di zaman orde baru, terutama di daerah Sulawesi, kini terlahir kembali dan digandrungi oleh segala golongan usia, khususnya generasi Z. Meski permainan ini sederhana dan kelas “pasar malam”, namun pula dimainkan oleh kalangan influencer, selebriti, hingga pejabat publik.
Media sosial turut memiliki andil besar terhadap sebaran latto-latto ini. Platform media sosial yang mampu memproduksi akselerasi popularitas, mengantarkan permainan ini sebagai sebuah fenomena sosial. Kelahirannya kembali di tengah pesatnya digitalisasi, memunculkan sebuah probabilitas atau peluang secara EKOSOPIABUD, sebuah akronim dari Ekonomi, Sosial, Politik, dan Budaya.
Secara ekonomi, viralnya latto-latto ini, memberikan dampak besar bagi para pelaku ekonomi menengah ke bawah. Dilansir dari berbagai media, di beberapa daerah ada yang omzetnya tembus sekitar 24-30 juta sebulan, hal ini juga terlihat dari aktivitas di e–commerce. Tokopedia mencatat lonjakan penjualan mainan latto-latto melonjak hampir 57 kali lipat saat momen pergantian tahun 2022-2023. Tentu menjadi sebuah penambal ekonomi bagi mereka pasca pandemi covid-19 dan ancaman resesi ekonomi 2023.
Dari perspektif politik, hal ini juga menjadi jembatan citra bagi aktor-aktor politik. Dikenal sebagai permainan pasar malam, elit politik tak ketinggalan memberikan bentuk eksistensinya melalui permainan tersebut. Sehingga akan tercipta sebuah identititas figur yang merakyat. Segala instrumen atau produk proletariat jika mampu menembus kelas elit dan penguasa, tentunya akan menjadi kebanggaan tersendiri, serta akan menjadi pintu masuk untuk memberikan label “merakyat” dan “sederhana” pada figur tersebut.
Jika dari sudut pandang sosial dan budaya, permainan ini juga menjadi reproduksi kultur. Budaya interaksi dan tatap muka langsung yang selama ini jarang kita temukan di lingkungan anak-anak karena pengaruh piranti digital, akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka akan lebih leluasa untuk saling bertegur sapa langsung, tercipta budaya kompetitif yang sehat, dan saling edukasi antar satu sama lain. Umpan balik yang dilahirkan juga akan berbeda jika hanya di ruang maya, sehingga output sosialnya juga akan jauh lebih baik dan positif. Jika kita adalah manusia yang tumbuh besar di era 90-an hal ini akan menarik kita untuk melihat dan menemukan kembali suasana kita bermain di masa itu tanpa genggaman gadget dan teknologi. Ada nuansa tersendiri berinteraksi langsung dalam permainan yang sederhana.
Baru-baru ini juga media sosial mengabarkan sebuah keunikan dari Kota Makassar. Pada sebuah hajatan pernikahan, kedua mempelai yang selama ini disambut dengan tarian, rampak gendang, atau A’ngaru (penyambutan adat Bugis-Makassar) berubah dengan sambutan latto-latto. Sekelompok anak-anak secara serentak memainkannya dengan kompak untuk menyambut sang pengantin baru bersama rombongannya. Suaranya yang seperti alunan musik, menjadi pengganti tebuhan gendang . Hal ini mampu menjadi opsi alternatif dalam hal biaya dan keunikan. Hanya saja, sedikit mengurangi kesakralan dari budaya sambut itu sendiri secara kearifan lokal.
Kehadiran latto-latto ini juga semakin mempertegas diri kita sebagai seorang yang FEMO, sebuah singkatan dari Fear of Missing Out. Istilah yang dipopulerkan oleh penulis Amerika Patrick McGinnis pada tahun 2003. Frasa yang memberikan makna bahwa di era konsumtif dan digital ini kita menjadi manusia yang sangat takut kehilangan momentum. Beberapa peristiwa-peristiwa viral yang terjadi selama ini, kita juga akan saling berlomba untuk menjadi demikian. Namun sayangnya, ketika eksistensinya mulai merosot, ia juga secara perlahan ditinggalkan. Hal ini juga yang kita khawatirkan terhadap latto-latto ini. Kehadirannya yang memberikan dampak positif bagi psikomotorik, daya konsentrasi, dan psikologis manusia, khususnya anak-anak terancam akan lenyap jika tidak ada kontrol sosial dan inovasi kultural untuk tetap mempertahankan eksistensinya.
Jika kita menarik kembali pada sejarah, di Amerika dan Mesir pada masa lampau, eksistensi permainan ini harus mendapatkan prohibisi atau larangan dengan menggunakan dasar. Sebab, dasarnya jelas, permainan ini menimbulkan cedera pada penggunanya, apalagi saat itu permainan ini terbuat dari kaca, sehingga rawan pecah. Bahkan pemerintah Amerika menggolongkan permainan ini sebagai “mechanical hazard”, artinya mainan yang bisa menimbulkan bahaya. Pula di Mesir, terjadi pelarangan disebabkan karena mainan tersebut dianggap melecehkan Presiden Mesir Abdul Fattah as-Sisi. Kala itu, latto-latto disebut sebagai Sisi’s balls yang artinya mengacu pada testis atau organ reproduksi presiden tersebut. Karenanya, mainan tersebut juga dianggap melecehkan pemerintah. Di Indonesia, seiring massifnya latto-latto ini mulai memunculkan sikap restriktif dari pemangku kebijakan. Diantaranya, Dinas Pendidikan Lampung yang mengeluarkan surat edaran melarang anak-anak membawa latto-latto ke sekolah, beberapa konten kreator “memplesetkan” latto-latto ke arah pornografi, menyimbolkan latto-latto sebagaimana yang terjadi di Mesir, serta gangguan-gangguan bunyi latto-latto yang dianggap terancam sesuai revisi RKHUP yang baru, sehingga memberikan batasan-batasan ruang dan waktu memainkan permainan tersebut.
Kita perlu memikirkan sebuah formulasi agar latto-latto ini tetap menjadi permainan yang menarik dan unik. Kita bersyukur di beberapa tempat telah memunculkan kompetisi dengan hadiah yang fantastis, namun tidak hanya terhenti sampai disitu, latto-latto harus tetap dijaga keberadaannya dalam bentuk produk giat yang menarik, salah satunya dengan usulan dimasukkan sebagai salah satu cabang olahraga sebagaimana e-sport yang telah diakui. Peluang ini ada, sebab permainan ini juga dikenal di beberapa negara, sehingga akan mudah untuk diterima, cukup diperkuat lagi dalam hal aturan main dan teknisnya. Olehnya, mari kita tunggu saja perkembangan dan dinamika reinkarnasinya permainan ini.
Oleh : Amul Hikmah, S.S., M.SI