HarianMakassar.com – Tidak lama lagi, kita akan mengetuk pintu tahun 2023. Sebuah ruang waktu yang selama dua belas
bulan ke depan diprediksi akan menguras banyak pikiran dan energi untuk menaikkan bendera politik. Baik
di ruang maya maupun nyata, narasi-narasi politik akan banyak berkeliaran di depan mata kita, termasuk di
ruang anak-anak muda yang semakin geliat di berbagai sudut kota hingga desa.
Data dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (KEMENPORA RI) menyebut
bahwa proyeksi jumlah pemuda di tahun 2023 berada di angka 65,82%. Sebuah angka yang tidak sedikit
dan diprediksi menjadi target sasaran partai dan para figur untuk mengetuk mereka, entah ditarik sebagai
kandidat aleg, timses, dan selemah-lemahnya adalah sebagai voters di TPS.
Pada periodesasi 2019-2024 di DPR RI, tercatat ada 7 orang yang berusia 25 tahun ke bawah dan
20 orang yang berusia 30 tahun ke bawah. Diharap arena politik saat ini memang menjadi pentasnya
pemuda. Namun, muda yang diharapkan tidak sekadar usia, namun memiliki karakter tersendiri yang
berbeda dengan golongan usia di atasnya.
Idealnya, muda yang mau bertarung adalah ia yang memiliki BERANI dalam dirinya. Baik secara
defenisi operasional maupun secara akronimnya. Peterson dan Sligman (2004) menuliskan berani sebagai
sebuah kebajikan yang mengandung Bravery (kemampuan mengambil resiko), Integrity (tanggung jawab
& integritas), Vitality (menyelesaikan tugas/amanah), dan Persistent (teguh & bertahan menghadapi
rintangan. Selain itu, secara akronim dari diksi BERANI ini harus dimiliki oleh kaum muda.
Pertama adalah Berkolaborasi, kaum muda yang menokohkan dirinya atau dianggap sebagai figur
sejatinya merangkul seluruh elemen muda, tanpa memandang status apapun. Bersatu memerangi segala
gejala buruk pentas demokrasi, utamanya berkaitan dengan money politic. Kedua adalah Emansipasi,
perempuan muda juga harus turut serta dilibatkan untuk aktif dalam proses politik tersebut, pula lelaki muda
melibatkan perempuan dalam proses pemenangan dan pendidikan politiknya. Ketiga adalah Relawan, muda
harus memiliki jiwa volunteer serta sense of crisis. Cepat tanggap dan peka terhadap berbagai peristiwa
kemanunisaan dan dirinya menjadi motor penggerak.
Keempat adalah Adaptif, figur yang ideal juga adalah ia yang mampu beradaptasi dengan
perubahan dan tantangan zaman, termasuk menghadapi tantangan resesi ekonomi ke depan. Kelima adalah
Navigator, ia yang muda harus menjadi pengarah atau penunjuk arah yang baik kepada masyarakat.
Memberikan edukasi yang baik tentang proses demokrasi yang sehat dan bergagasan, bukan mencederai
dengan nominal kekayaan. Keenam adalah Inspiratif, sejatinya muda yang bertarung ke depan adalah ia
yang memiliki track record atau jejak rekam yang baik, menjadi inspirasi bagi pemuda lainnya, baik secara
pemikiran, karya, maupun tindakan.
Ke depan dianggap akan banyak persoalan pemuda yang begitu kompleks, mulai dari ketersediaan
lapangan kerja hingga mentalitas pemuda. Sehingga untuk merumuskan kebijakan dan menyusun anggaran
yang tepat sasaran, perlu orang-orang muda pulalah yang mampu memahami apa yang menjadi kebutuhan
dan keinginan pemuda. Olehnya, BERANI ini harus melekat sebagai landasan dalam meyakinkan para
pemilih dengan berbasis gagasan dan karakter.
Diksi BERANI ini juga sering disebut oleh salah seorang Sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pada
masa lampau ada dua kutipan Pram yang ditulis dalam bukunya, “Kalau mati, dengan berani; kalau
hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.” Serta “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu,
lantas apa harga hidup kita ini?”. Apa yang disampaikan oleh Pram pada masa lampau juga masih
berkaitan dengan kondisi kekinian. Terlebih kepada kaum muda yang memiliki banyak kelebihan
dibandingkan usia lainnya. Modal utama yang harus dimiliki sebelum menyatakan sikap untuk turut
berkontestasi dalam politik adalah “BERANI”.
Saat ini memang pemuda dianggap mengalami degradasi dalam hal BERANI. Salah satunya
yakni pemuda kehilangan BERANI dalam hal menyuarakan dan mengawal berbagai kebijakan
pemerintah yang kontra terhadap rakyat. Kelompok-kelompok yang dianggap mampu menjadi
“corong” rakyat dalam menyalurkan segala keresahan publik sepertinya tersumbat. Sehingga, perlu
untuk merekontruksi serta merekonsolidasi pemikiran dan mentalitas pemuda untuk melahirkan
BERANI yang sejati sebagaimana para pendahulunya yang rela mengorbankan nyawa dan kehilangan
zona nyamannya. Urgensi karakter ini diharapkan mampu melekat pada figur-figur muda yang ingin mengambil
tempat dalam pertarungan meraih kursi parlemen. Sehingga, ke depan porsi anak muda akan lebih banyak
mengisi sidang paripurna dengan tetap mengdepankan idealisme dan gagasannya dalam membela atau
menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sudah siapkah para figur muda menjadi BERANI dalam pentas politik?
Oleh : Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si
(Direktur Eksekutif Saoraja Institute/ Pengamat Pemuda dan Politik)