harianmakassar.com – Tahapan pemilu telah berjalan, Februari 2024 sebagai puncak dari pesta demokrasi republik ini tidak lama lagi akan kita temui. Diantara ragamnya dinamika dan proses politik yang berjalan, ada hal penting yang perlu menjadi perhatian serius bagi zoon politicon. Perihal kaum muda yang tidak boleh lagi dianggap sebagai pemilih kelas dua. Mereka saat ini memiliki posisi penting sebagai penentu suara untuk mendudukkan wakil rakyat dan presiden berikutnya. Kedudukannya dalam politik yang selama ini hanya sekadar “tim hore” turut mengambil bagian dalam kandidasi serta secara perlahan mulai massif memperbincangkan dengan sesamanya di ruang-ruang publik, meski yang diobrolkan hanya sekadar “kulit-kulitnya”, namun berpotensi berbahaya bagi petahana dan kandidat senior lainnya. Muda jika sudah berkumpul dan membahas tentang masa depan dan negaranya, ia tak bisa dibendung jika energi, idealisme, dan solidaritasnya telah menyatu.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52 persen diantaranya merupakan pemilih muda atau setara 106.358.447 jiwa. Rinciannya, pemilih berusia 17 tahun sebanyak 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Kemudian pemilih dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa. Lalu disusul dengan Pemilih dengan 31 tahun hingga 40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa.
Tidak hanya secara kuantitas, muda ini juga termasuk memiliki kualitas. Mereka juga dapat disebut sebagai pemilih rasional dan idealis. Sesuai dengan Data The Indonesian Institute (2022) menyebut bahwa mayoritas anak muda memilih partai politik atau kandidat karena parpol atau kandidat tersebut mempunyai visi dan program yang jelas, sebesar 22,22% usia muda menyatakan demikian. Senada dengan hal tersebut, data Saoraja Institute Indonesia (2023) juga menunjukkan bahwa pemilih muda mayoritas menginginkan pemimpin atau wakil rakyat yang memiliki gagasan dan visioner (37,7%), mudah ditemui dan komunikatif (22,5%), serta memiliki public speaking/retorika yang baik (15,1%). Tiga karakter ini menjadi teratas yang diinginkan oleh anak-anak muda untuk pemilu 2024.
Angka-angka di atas memberikan isyarat bahwa anak muda harus gencar melakukan “cawe-cawe” untuk pemilu kali ini. Istilah “cawe-cawe” ini di beberapa waktu terakhir populer di berbagai pemberitaan, pasca Presiden Jokowi melakukan pertemuan di istana dengan berbagai pimpinan parpol koalisi pemerintahan. Cawe-cawe merupakan salah satu diksi dalam bahasa Jawa yang berarti ikut campur tangan atau turut serta. Kuantitas dan kualitas adalah tolak ukur mengapa anak muda harus massif cawe-cawe. Terbukti, setiap partai politik, telah menempatkan anak muda untuk turut serta dalam kontestasi legislatif, baik di tingkatan pusat hingga daerah. Tak kalah pentingnya adalah Cawe-Cawenya anak muda yang berkedudukan sebagai pemilih. Mereka harus banyak membaca dan menyimak dinamika politik dan kebangsaan yang terus berjalan. Mengantarkan orang-orang yang tidak memiliki dosa politik “masa lalu” dan memiliki gagasan estetik masa depan, serta turut menjadi distributor politik kepada publik untuk pemilu yang sehat, berkualitas, dan berintegritas.
Tentu, kita tidak ingin jika “penyakit” pesta demokrasi sebelum-sebelumnya kembali menggrogoti proses demokrasi kita tahun ini. Selain menimbulkan ketidakharmonisan atau polarisasi yang begitu kuat di akar rumput, pula hanya menciptakan wakil-wakil di parlemen yang tidak serius mengurusi rakyat, mengkhianati amanat rakyat, serta tidak pro pemuda. Terbukti, sulitnya anak muda mendapatkan lapangan kerja serta masalah sosial pemuda lainnya yang sangat kompleks dan masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi bangsa ini.
Keseriusan anak muda untuk pemilu tahun ini memang benar-benar dibutuhkan. 2024 adalah momentum agar segala kritikan dan keresahan yang selama ini terbentur dan “mampet”harus menemukan jalan keluar. Negara telah menyediakan ruangnya untuk benar-benar mendelegasikan kepercayaan kita kepada orang-orang yang serius ingin menjadi perpanjangan lidah kita, bukan hanya tiba melihat kampung kita setiap lima tahun sekali.
Kekhawatiran jika anak muda kali ini tidak serius melakukan cawe-cawe, akan berdampak terjadinya Elnino politik. Elnino kali ini juga menjadi pembahasan serius sebab akan mengancam republik ini dalam perspektif geografis. Pula dalam politik, sebagaimana elnino yang kita kenal memberikan peningkatan suhu panas dan kekeringan, kita tak ingin terbawa dalam kondisi politik tanah air. Meningkatnya atmosfer politik yang semakin memanas tentu hanya akan menimbulkan perpecahan dan non-finito gagasan. Kandidat kering ide dan program, sehingga akan berdampak pada kebutuhan dan aspirasi kita di masa yang akan datang. Sehingga, anak muda diharapkan mampu menjadi aktor preventif dan solutif agar tak terjadi elnino politik untuk pesta demokrasi kali ini. Sebab, pemilu adalah ruang konstitusional untuk melakukan revolusi, sehingga anak muda tak boleh mengambil langkah apatis dan pragmatis.
Oleh : Amul Hikmah Budiman, S.S., M.Si
Direktur Eksekutif Saoraja Institue Indonesia